Paris, 3 February 2013

Ball

 

Kembali lagi di Paris.

Setelah sekian lama off karena menyelesaikan draft ketiga skenario saya, saya harus mulai kembali memindahkan tulisan dalam buku merah saya untuk berbagi di blog ini..

Seminggu kemarin saya berada di Rotterdam International Film Festival (IFFR) untuk pertama kalinya.

Sejak awal membuat film, IFFR adalah salah satu festival yang ingin saya datangi, dan kemarin saya berada disana bersama proyek film kedua saya The Seen and Unseen.

Tahun ini IFFR memutar cukup banyak film Indonesia. Vakansi Yang Janggal dan Penyakit Lainnya karya Yoseph Anggi Noen, Soegija karya Garin Nugroho, On Mother’s Head karya Putu Kusuma Widjaja, Atambua 39 derajat Celsius karya Riri Riza, Rumah dan Musim Hujan karya Ifa Isfansyah, dan What They Don’t Talk About When They Talk About Love karya Mouly Surya yang mendapatkan NETPAC Award. Diluar itu ada juga Edwin dengan projectnya 17.000 Islands dan Saya dengan The Seen and Unseen. Juga hadir  Amanda Marahimin untuk mengikuti Rotterdam Lab.

Ini energi yang bagus untuk perfilman Indonesia. Saya bicara dengan salah seorang dari Hubert Bals Fund, ia bilang “Dari 25 film yang di support HubertBals Fund tahun ini, 5 diantaranya adalah film Indonesia”. Ini presentasi yang besar, dan ini adalah saatnya film kita untuk dikenal.

Beberapa waktu lalu saya hadir di Master Class Tsai-Ming Liang di Paris, salah satu sutradara favorit saya. Dalam kelasnya ia bicara mengenai perkembangan sinema di China. dan kenapa ia terus membuat film, padahal film art seperti yang ia buat tidak mudah untuk diterima masyarakat.

“Kita harus merealisasikan Cinema, karena dengan merealisasikan cinema kita bisa menghidupkan kembali negara kita. Dengan film kita bisa memperlihatkan orang-orang cerita tentang kita” kata Tsai-Ming Liang

Apa yang dikatakan Tsai-Ming Liang membuat saya melihat kembali apa itu film dan kenapa kita membuat film. Saya ingat satu pertanyaan yang selalu datang kepada saya, juga filmmaker lainnya saat diwawancara tentang film kami. “Apa pesan (moral) film anda?”. Saya tidak pernah bisa menjawab pertanyaan ini sepenuhnya. Karena film tidak selalu mengenai pesan. Selain ruang untuk interpretasi dan pemikiran saya, film adalah ruang untuk bertemu, ruang untuk berkenalan.

Saya lalu ingat bagaimana tanggapan2 penonton setelah menonton film2 Indonesia di IFFR tahun ini. “Apakah film dengan karakter non-muslim ini dibolehkan di Indonesia?”, “Ternyata ada daerah2 non-muslim di Indonesia” “Film ini tidak seperti Indonesia di bayangan saya, ini seperti di Brazil”.

Ternyata mereka tidak cukup kenal Indonesia. 

Keberagaman film Indonesia di Rotterdam kali ini membuat saya semakin semangat. Semangat untuk bercerita lebih banyak tentang KITA, bercerita lebih banyak tentang Indonesia.

 /kandi

Advertisement
This entry was published on February 3, 2013 at 8:36 pm and is filed under Uncategorized. Bookmark the permalink. Follow any comments here with the RSS feed for this post.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: